oleh: Andy Hadiyanto
( staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial UNJ )
Bangsa Indonesia yang tengah berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multidimensi sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai komponen untuk menggalang semua potensi bangsa, agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif. Namun, upaya-upaya seperti itu seringkaliterhambat oleh adanya potensi-potensi konflik yang demikian banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dsb).
Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama. Apalgi akhir-akhir ini nampaknya penafsiran agama telah diwarnai oleh berbagai bias kepentingan dan ideologi politik tertentu, yang mengakibatkan beberapa kelompok tertentu berani menghakimi kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham sebagai kelompok sesat, murtad, kafir, bid’ah, dan berbagai sebutan lain yang mengkonotasikan ketidakpantasan kelompok lain untuk eksis dan hidup berdampingan secara damai dengan mereka.
Seringkali ajaran agama yang bernilai universal dan tidak memihak berubah menjadi sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Seringkali pula Tuhan yang Maha Luhur dan Maha Mulia diseret oleh subyektifitas manusia untuk membenarkan sikap sekterian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Ia sengaja dipahami lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengkafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.
Pemahaman agama yang demikian itu pada akhirnya semakin mengentalkan sikap fanatik dan intoleran terhadap perbedaan pemahaman agama, tidak saja anatar umat beragama tetapi juga antar umat seagama. Celakanya pemahaman tersebut seringkali juga dijadikan pembenaran untuk menyapu dan menghabiskan orang atau kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka.
Pada kondisi di mana dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai luhurnya sehingga dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sekterian, stereotype, dan spirit saling mengkafirkan antar sesama umat seagama atau antar umat yang berbeda agama.
Apanila kita kembali melihat contoh Rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi konflik akan dapat dieliminir dengan mengedepankan persamaan dala keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan, tetapi dalam menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam keberbedaan tersebut tetapi sebaliknya, justru harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi, bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus mengedepankan kesadaran bahawa ada satu persamaan yang mengikat kita semua, yaitu kesadaran bahwa kita adalah sama-sama bangsa Indonesia.
Dalam konteks teologis, pencarian nilai kebenaran kemanusiaan bersama perlu dilakukan oleh setiap umat beragama dalam upaya mempersempit “jurang pemisah” antar pemahaman dan keyakinan agama. Kebenaran universal inilah yang harus dipegangi bersama oleh seluruh umat manusia, apabila konflik kemanusiaan yang terjadi akibat hegemoni peradaban yang satu atas peradaban yang lainnya sepanjang sejarah keberadaan manusia ingin diakhiri.
Ajaran-ajaran agama harus ditransedensikan sedemikian rupa sehingga melahirkan sebuah pemahaman agama yang sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung akan nilai-nilai luhur dan kebenaran (hanif).
Dikaitkan dengan ajaran Islam dan keberadaan umat Islam dewasa ini, upaya pencarian kebenaran universal dapat dilakukan –mengutip pendapat Jalaludin Rahmat melalui “revolusi konseptual”, yaitu sebuah usaha secara sistematis untuk melakukan perombakan secara radikal struktur kognitif, sikap pendekatan, dan muatan berpikir umat Islam dengan meniupkan kembali ruh tradisi keilmuan ke dalam Islam, sebagai upaya untuk mengatasi kelesuan intelektual, kelembaman mental, konservatisme yang kaku, serta fanatisme sekterian yang membabi buta dalam struktur kesadaran umat Islam masa kini. Karena hanya dengan membangkitkan kembali tradisi berpikir ilmiah umat Islam akan dapat menyelami kembali ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.
Islam sebagai irahmatan lil ‘alamin tidak didapati pada norma-norma hukum (syari’ah) yang cenderung formalistik. Namun ke-rahmatan lil ‘alamin-annya Islam justru terletak pada visi tauhidnya, suatu visi yang mengahncurkan budaya konflik yang diakibatkan adanya eksploitasi manusia (yang kuat) atas manusia lainnya (yang lemah), baik eksploitasi struktural ataupun budaya. Selanjutnya visi tauhid tersebut terejawantahkan dalam nilai-nilai luhur Islam yang menghendaki pemeliharaan atas jiwa, harta kepemilikan, garis keturunan, akal budi, dan agama.
Nilai-nilai luhur tersebut bersifat mengglobal dan menzaman, ia sejalan dengan akal budi manusia (sesuai ikatan primordial manusia ketika masih berada di dalam ruh) dan karenanya ia bukanlah monopli Islam saja, tetapi dapat dijumpai pada ajaran-ajaran agama lainnya yang kesemuannnya muncul sebagai ekspresi mendalam manusia atas nilai-nilai transedental yang ada dalam diri mereka.
Nampaknya kita perlu mengkaji ulang proses pembelajaran agama kita, baik di ranah formal atau informal, agar lebih mengacu pada pengembangan visi tauhid tersebut dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih damai dan humanis.
( staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial UNJ )
Bangsa Indonesia yang tengah berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multidimensi sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai komponen untuk menggalang semua potensi bangsa, agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif. Namun, upaya-upaya seperti itu seringkaliterhambat oleh adanya potensi-potensi konflik yang demikian banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dsb).
Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama. Apalgi akhir-akhir ini nampaknya penafsiran agama telah diwarnai oleh berbagai bias kepentingan dan ideologi politik tertentu, yang mengakibatkan beberapa kelompok tertentu berani menghakimi kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham sebagai kelompok sesat, murtad, kafir, bid’ah, dan berbagai sebutan lain yang mengkonotasikan ketidakpantasan kelompok lain untuk eksis dan hidup berdampingan secara damai dengan mereka.
Seringkali ajaran agama yang bernilai universal dan tidak memihak berubah menjadi sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Seringkali pula Tuhan yang Maha Luhur dan Maha Mulia diseret oleh subyektifitas manusia untuk membenarkan sikap sekterian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Ia sengaja dipahami lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengkafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.
Pemahaman agama yang demikian itu pada akhirnya semakin mengentalkan sikap fanatik dan intoleran terhadap perbedaan pemahaman agama, tidak saja anatar umat beragama tetapi juga antar umat seagama. Celakanya pemahaman tersebut seringkali juga dijadikan pembenaran untuk menyapu dan menghabiskan orang atau kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka.
Pada kondisi di mana dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai luhurnya sehingga dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sekterian, stereotype, dan spirit saling mengkafirkan antar sesama umat seagama atau antar umat yang berbeda agama.
Apanila kita kembali melihat contoh Rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi konflik akan dapat dieliminir dengan mengedepankan persamaan dala keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan, tetapi dalam menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam keberbedaan tersebut tetapi sebaliknya, justru harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi, bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus mengedepankan kesadaran bahawa ada satu persamaan yang mengikat kita semua, yaitu kesadaran bahwa kita adalah sama-sama bangsa Indonesia.
Dalam konteks teologis, pencarian nilai kebenaran kemanusiaan bersama perlu dilakukan oleh setiap umat beragama dalam upaya mempersempit “jurang pemisah” antar pemahaman dan keyakinan agama. Kebenaran universal inilah yang harus dipegangi bersama oleh seluruh umat manusia, apabila konflik kemanusiaan yang terjadi akibat hegemoni peradaban yang satu atas peradaban yang lainnya sepanjang sejarah keberadaan manusia ingin diakhiri.
Ajaran-ajaran agama harus ditransedensikan sedemikian rupa sehingga melahirkan sebuah pemahaman agama yang sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung akan nilai-nilai luhur dan kebenaran (hanif).
Dikaitkan dengan ajaran Islam dan keberadaan umat Islam dewasa ini, upaya pencarian kebenaran universal dapat dilakukan –mengutip pendapat Jalaludin Rahmat melalui “revolusi konseptual”, yaitu sebuah usaha secara sistematis untuk melakukan perombakan secara radikal struktur kognitif, sikap pendekatan, dan muatan berpikir umat Islam dengan meniupkan kembali ruh tradisi keilmuan ke dalam Islam, sebagai upaya untuk mengatasi kelesuan intelektual, kelembaman mental, konservatisme yang kaku, serta fanatisme sekterian yang membabi buta dalam struktur kesadaran umat Islam masa kini. Karena hanya dengan membangkitkan kembali tradisi berpikir ilmiah umat Islam akan dapat menyelami kembali ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.
Islam sebagai irahmatan lil ‘alamin tidak didapati pada norma-norma hukum (syari’ah) yang cenderung formalistik. Namun ke-rahmatan lil ‘alamin-annya Islam justru terletak pada visi tauhidnya, suatu visi yang mengahncurkan budaya konflik yang diakibatkan adanya eksploitasi manusia (yang kuat) atas manusia lainnya (yang lemah), baik eksploitasi struktural ataupun budaya. Selanjutnya visi tauhid tersebut terejawantahkan dalam nilai-nilai luhur Islam yang menghendaki pemeliharaan atas jiwa, harta kepemilikan, garis keturunan, akal budi, dan agama.
Nilai-nilai luhur tersebut bersifat mengglobal dan menzaman, ia sejalan dengan akal budi manusia (sesuai ikatan primordial manusia ketika masih berada di dalam ruh) dan karenanya ia bukanlah monopli Islam saja, tetapi dapat dijumpai pada ajaran-ajaran agama lainnya yang kesemuannnya muncul sebagai ekspresi mendalam manusia atas nilai-nilai transedental yang ada dalam diri mereka.
Nampaknya kita perlu mengkaji ulang proses pembelajaran agama kita, baik di ranah formal atau informal, agar lebih mengacu pada pengembangan visi tauhid tersebut dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih damai dan humanis.
0 comments