Bahaya Laten Internet Bagi Otak



Pada 1970, Pemerintah Amerika Serikat mencanangkan tahun tersebut sebagai tahun dimulainya Dekade Membaca. Membuat Gedung Putih ikut sibuk mengalokasikan sejumlah Dana Federal untuk mendukung berbagai usaha yang dapat mengenalkan warganya mengenal seni membaca sejak dini.

Berbagai klub membaca dan kursus membaca pun jadi marak. Sekolah-sekolah dan fakultas juga mulai mengadakan pelatihan membaca bagi anak didiknya. Bahwa yang tengah dilakukan Amerika saat itu adalah mengoptimalkan kemampuan membaca dengan baik, dan dengannya pengetahuan mereka bakal terbentuk dengan baik pula.

Tapi kini semuanya mulai berubah. Seiring meningkatnya konsumsi kaum muda Amerika akan internet, mereka mulai mengkhawatirkan tumbuh-suburnya benih-benih anti-intelektualisme sebagai akibat dari perkembangan teknologi internet yang pesat belakangan ini.

Apa pasal? Rupa-rupanya, mereka menyadari bahwa ada yang tengah berubah dari cara mereka membaca secara tradisional dalam bentuk cetakan, dengan membaca ketika sedang online di internet.

Adalah Nicholas Carr dalam sebuah artikelnya yang mengaku mulai kehilangan kemampuannya membaca dengan fokus. Carr yang menengarai hal tersebut akibat kebiasaannya berseluncur ke berbagai laman, loncat dari satu halaman ke halaman lainnya, berpindah dari satu tautan ke tautan berikutnya. Dan setiap Carr mulai membaca sebuah artikel secara online ia mengaku demikian, "Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking for something else to do."

Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan; "I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish article on the web or in print… I can't read War and Peace anymore. I've lost the ability to do that. Even a blog post of more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim it," terang Friedman yang dikutip juga oleh Carr.

Tak sampai di situ, simak juga penelitian tentang online habits yang digelar University College London waktu lalu. Mereka meneliti tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis lainnya. Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk selanjutnya pindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal menyimpan file artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka benar-benar membacanya.

Carr kemudian juga mengutip keresahan Maryanne Wolf, seorang psikolog dari Tufts University. Gaya membaca online yang mengedepankan etos kesegeraan dan keefisiensian, menurut Wolf, dikhawatirkan dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk membaca dengan seksama. Sebab menurutnya, membaca bukanlah kemampuan alamiah manusia. Kita mesti melatih otak kita untuk menerjemahkan simbol karakter dan huruf yang kita lihat ke dalam bahasa yang kita pahami. Untuk itu, media dan teknologi yang kita gunakan ketika membaca, memainkan peran penting dalam membentuk pola sirkuit syaraf dalam otak kita.

Dari sini ingatan saya pun beralih pada teori komunikasi yang saya pelajari dalam kelas matakuliah “Filsafat Komunikasi” semasa kuliah dulu. Bahwa media komunikasi tak sekedar alat untuk menyampaikan pesan komunikasi, tapi juga secara kreatif akan membentuk konstruksi realitas tertentu dalam benak manusia yang menerima dan memaknai pesan tersebut. Tak heran bila karakter media juga dipandang mampu membentuk proses berpikir seseorang.

Asumsi inilah yang kemudian bisa kita lekatkan pada internet sebagai media komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media komunikasi lainnya. Bahwa jelas sekarang, ditengah-tengah pujian, pemujaan, dan ketergantungan banyak orang akan internet, ternyata ia menyimpan bahaya latennya sendiri. Internet –dengan segala kecepatan dan obesitas informasinya– lambat laun niscaya melemahkan konsentrasi otak kita.

Dari sini baru muncul pertanyaan, adakah kita menyadari hal tersebut? Perlukah saya ulangi lagi pernyataan Pascal 30 tahun silam di sini yang berkata, "Saat kita membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, kita tidak akan mengerti apa-apa."

* Artikel di atas ringkasan dari "Berenang Kita di Google yang Dangkal"

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati