Frustasi



Oleh rvxen

Frustasi sangat erat dengan kekecewaan. Sebuah gejala terhentinya keinginan atau cita-cita. Tak kenal umur, kelamin ataupun suku. Hamper semua tempat dimana ada manusia rasa frustasi menjadi bagian terelakkan. Keniscayaan sebuah masa dalam ranah psikologi manusia. Perasaan kecewa, semisal kita mencintai seseorang yang tiba-tiba terhadang persetujuan orangtua. Atau persoalan keseharian, seperti seorang pria yang merayu wanita, tapi si wanita menolak. Begitupun sebalknya. Pasti patah hati. Putus asa. Tak ada lagi hasrat untuk mencinta.

Dalam keadaan frustasi akut, manusia bisa menjadi agresif. Frustasi jika tidak dibendung rasa sabar, maka akan disalurkan lewat kekerasan. Seorang bayi mungkin akan berteriak hingga memekakkan telinga ketika botol susunya diambil; orang tua jompo tak segan membunuh anaknya yang menjadi penjahat; tak sedikit anak muda yang membentak bahkan memukul orang tuanya karena tak diijinkan menikah dengan kekasihnya. Hingga tak jarang pula seorang pria memperkosa gadis yang menolak cintanya. Tindak tanduk ini memicu animal instinct manusia kepada sesuatu yang dipandang mengecewakan, menghambat, atau menghalangi.

Seorang psikoanalisis, Erich Fromm, menyatakan manusia perlu mengalami frustasi. Karena tanpa kemampuan menerima dan mengalami frustasi, manusia nyaris tak dapat berkembang samas sekali. Pemicu hadirnya agresi bukan hanya situasi pelarangan semata, melainkan juga ketidakadilan. Frustasi juga bisa melanda secara kolektif, dalam hal ini sebuah bangsa. Suatu bangsa bisa frustasi karena cita-citanya menjadi sejahtera dan berkeadilan tak kunjung terwujud. Persis seperti kejadian Revolusi Prancis. Masyarakat bangsanya kecewa dan frustasi terhadap satu tatanan pemerintahan yang otoriter Raja Louis XIV. Di Indonesia, aksi besar-besaran [agresi] dipicu mahasiswa pada Mei 1998, bertujuan menggulingkan rezim otoriter orde baru.

Menengok kembali ke pasca 1998, di sana-sini rakyat menopang kehidupannya sendiri dengan usaha di sektor informal. Menghidupi diri sendiri tanpa ketergantungan pada pemerintah. Rakyat banting tulang sambil bersabar di tengah ketrpurukan ekonomi bangsa. Sayangnya, berbagai upaya rakyat dalam bertahan hidup dan mandiri tak disokong oleh kondisi politik yang baik. Politik pemerintahan sebagai kendaraan bangsa mewujudkan kemakmuran bersama malah menjadi ajang rebut kekuasaan. Buntutnya rasa kecewa [frustasi] rakyat terhadap politik pemerintahan terbentuk. Parahnya, rakyat tak hanya dilanda frustasi, tapi juga apatisme akut.

Persoalan utama sebenarnya adalah produk hukum yang tak berpihak kepada rakyat kecil. Misalnya, kebijakan privatisasi dan komerisalisasi BUMN. Dengan begitu pihak asing atau swasta bisa menentukan harga. Akibatnya, kebijakan kenaikan BBM terjadi disebabkan faktor ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam. Privatisasi rumah sakit Negara juga menyebabkan masyarakat miskin tak mampu beli obat bahkan mati karena sakit.

Kondisi inilah yang disebut sebagai proses behavioristik. Masyarakat tak lagi bisa memilih menjadi pintar dan hidup layak. Rakyat dikondisikan untuk terus miskin, terus melarat. Biaya bahan pokok, kesehatan dan pendidikan semakin tinggi. Situasi seperti ini kadang luput dari perhatian rakyat, karena didesak kebutuhan paling urgen, mempertahankan hidup. Sayangnya, rasa frustasi ini justru disalurkan pada hal-hal yang bersifat hedonis. Banyak dari rakyat malah lari dari kenyataan [escape from reality] yang memang pahit untuk dibahas. Menuju berbagai kesenangan temporal; narkoba dan seks. Tak sedikit juga yang berpikir fatalistic; menumpukkan semua harapan pada keyakinan transenden agar semua kondisi bangsa ini menjadi lebih baik.

Lebih ari itu, rasa frustasi bangsa akan keadaan ekonomi, sosial dan budaya yang menyedihkan lebih dimaknai sebagai akibat dari kesalahan diri sendiri ataupun takdir. Apa yang dirasakan, kini, Cuma menyalahkan diri sebagai bangsa inferior, hina dan rendah. Padahal, yang perlu dilakukan adalah pembenahan sistem pemerintahan. Apakah perubahan hanya hadir dari langit? Apa yang menjadi hak rakyat adalah kewajiban pemerintah. Setelah terpuruk oleh krisis ekonomi, rakyat masih bisa bertahan hidup dan berusaha bersabar. Suatu bangsa yang luar biasa sabar.

Menilik kembali kemunculan sikap agresi manusia secara kolektif paa satu kekecewaan, sepertinya kita akan masih membicarakan satu perubahan yang lamban. Sampai mana batas akhir kesabaran rakyat? Ini merupakan pertanyaan kita semua. Bentuk pelarian pada kesenangan dari frustasi pun hanya bersifat sementara. Tidak menutup kemungkinan perilaku agresif-kolektif kembali terjadi. Seperti saat reformasi 1998 atau Revolusi Prancis.

Melihat kondisi ini maka kita akan berharap banyak pada kalangan intelektual untuk melakukan tindakan yang semestinya dilakukan, pencerdasa dan kemauan bersama untuk mengembalikan cita-cita menuju bangsa yang adil dan sejahtera. Tapi kalau kalangan intelektual dilanda frustasi juga, mari berbagi frustasi! Seraya menunggu ledakan agresif lagi.

Sumber

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati