Bahasa Indonesia Terancam!
Oleh *Pry S.
Saya ingat suatu peristiwa saat upacara bendera setiap Senin selama 12 tahun saya menempuh pendidikan formal. Entah mengapa kata “Indonesia” dalam lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ramai-ramai dinyanyikan dengan lafal 'e', yaitu “Endonesia… tanah airku… (dan seterusnya)”. Padahal jelas-jelas huruf 'i' dalam kosakata bahasa Indonesia dibaca 'i', bukan 'ai' atau 'e'. Sampai sekarang saya bahkan masih menemukan orang yang melafalkan 'Indonesia' dengan bunyi 'Endonesia'.
Penemuan saya akan ketidakteraturan berbahasa ini berlanjut demikian. Suatu hari saya ditertawakan beberapa rekan saat mengeja TV, VCD, dan DVD menjadi te-ve, ve-ce-de, dan de-ve-de. Alih-alih tersinggung, saya harus menerima itu sebagai sesuatu yang wajar jika saya ditertawakan, sebab memang ketiga kata tersebut bukan termasuk dalam kosakata bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut memang berasal dari kata bahasa asing yaitu Television (TV), Video Compact Disk (VCD), dan Digital Video Disk (DVD).
Namun di lain hal, saya mempertanyakan pelafalan kata yang sudah dianggap lazim seperti kata HP untuk Handset Telephone, dan WWF untuk World Wildlife Fund. Kedua kata tersebut tampaknya sah-sah saja saat dilafalkan ha-pe, dan we-we-ef. Bukannya saya lantas merasa tidak adil, tetapi rumusan mana yang sebaiknya kita taati bersama? Adakah peraturan dalam berbahasa Indonesia yang mampu menertibkan kedua contoh kasus di atas?
Masuknya budaya asing termasuk bahasa ke Indonesia bisa berarti ikut memperluas wawasan kita akan dunia yang sedang bergerak maju di luar sana. Istilah-istilah asing yang tidak dapat kita temui dalam kosakata bahasa Indonesia, tentu akan memperkaya kosakata bahasa Indonesia dalam mendefinisikan sesuatu hal. Tetapi ada baiknya juga kita mempertimbangkan dampak kurang baik yang muncul belakangan. Misal saja, kata 'arogan' lambat laun menggusur penggunaan kata 'sombong', kini 'anugerah' lebih umum disebut 'award', kata 'mandeg' sudah jarang digunakan karena digusur kata 'stagnan'.
Situasi ini justru berkebalikan dengan situasi berbahasa di Indonesia saat awal Sumpah Pemuda diikrarkan dan pemerintahan RI pertama dibentuk. Para pakar, kaum intelektual, ahli bahasa, munsyi, dan sastrawan saat itu giat menciptakan bentukan kata baru dan bentukan kata serapan atas suatu istilah dari kata-kata asing. Sebut saja 'hore' (hurray), 'peluit' (flute), 'mesti' (must), 'peri' (fairy), 'dokar' (dog car), 'sama' (same), 'justru' (just true), dan lain sebagainya.
Saya rasa Indonesia saat ini butuh orang-orang kreatif menciptakan bentukan kosakata baru dan punya niat melestarikan bahasa Indonesia seperti orang-orang yang saya sebutkan tadi. Bukannya apa-apa, tetapi nasib bahasa Indonesia akan lebih menyedihkan bila suatu hari bakal terpinggirkan di negerinya sendiri. Perhatikan saja dunia politik dan pers kita belakangan ini, istilah-istilah asing seperti money politics, buloggate, walk out, dan mark up yang diungkapkan para politikus kita tercinta mentah-mentah saja dimuat di halaman suratkabar tanpa diserap atau disertakan padanan katanya. Lebih lucunya lagi silahkan simak kata kursif (huruf miring) dalam ucapan Amien Rais yang saya kutip dari Koran Tempo 16 September 2000: “Kalau pengumpulan tanda tangan mencapai lebih dari separuh anggota DPR, itu indikasi yang no good buat Akbar.”
Seberapa parahkah nasib bahasa Indonesia di awal awal abad 21 ini, hingga kecenderungan pemakaian bahasa asing (khususnya Inggris) meningkat? Atau ini memang sudah menjadi pemandangan biasa dimana terjadi percampuran antara bahasa asli dengan bahasa asing, seperti halnya yang terjadi di Singapura dengan bahasa Singlish-nya?
Pernyataan berikut ini adalah kutipan pendapat (alm) Dr. Soedjatmoko dalam Kongres Bahasa Indonesia III yang digelar di Jakarta pada November 27 tahun silam: “Ada kecenderungan yang makin meningkat antara sarjana-sarjana Indonesia untuk 'meloncat' ke bahasa Inggris dalam pembicaraan-pembicaraan diantara mereka sendiri saat mendiskusikan masalah-masalah ilmiah yang sulit.”
Ia lalu berkata demikian, “Kita harus menjaga supaya kita tidak kembali kepada hierarki bahasa di zaman kolonial; dimana bahasa daerah menjadi bahasa paling rendah, yaitu sebagai bahasa pergaulan antar keluarga dan antar sahabat; bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi yang lebih luas pada tingkat kedua; dan bahasa Belanda untuk maju, untuk menguasai ilmu pengetahuan modern, dan untuk masuk ke dalam golongan elite bumiputera.”
Dari suara Soedjatmoko tersebut bisa kita lihat bahwa kebiasaan 'menginggris' (meloncat ke bahasa Inggris dalam percakapan) diantara masyarakat Indonesia sudah berlangsung sekian lama. Berbagai upaya penyembuhan telah banyak dilakukan. Diskusi bahasa dan permasalahannya pun tak pernah absen digelar setiap bulan Oktober, bulan bahasa dan sastra. Di pertengahan tahun ini juga, budayawan Remy Sylado merasa perlu menerbitkan satu lagi buku kumpulan essai bahasa berjudul 'Bahasa Menunjukkan Bangsa' yang seringkali ditulisnya dengan nada sinis, untuk kembali mengingatkan masyarakat akan penyakit bahasa tersebut.
Saya pribadi menyadari ini saat sedang asyik di rumah, menyaksikan sajian Headline News dan Metro Showbiz News yang kebanyakan justru berisikan materi berita-berita dalam negeri, sambil mendengarkan album kompilasi JKT:SKRG (Jakarta Sekarang) dari Aksara Record yang hanya punya 6 lagu berbahasa Indonesia dari 14 lagu di album tersebut. Penjajahan bahasakah yang sedang terjadi atau mereka melakukan ini sekedar gagah-gagahan biar kelihatan sedikit bergengsi, intelek, dan sebagainya?
Akhir kata, saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan rasa nasionalisme atau rasa chauvinisme apapun. Saya hanya menggambarkan sebuah situasi dimana suatu bahasa sedang menuju kepunahan jika situasi tersebut dibiarkan begitu saja berlarut.
Saya pun mengakui manfaat bahasa Inggris demi kelancaran komunikasi global antar bangsa dan negara di dunia. Tapi alangkah membosankannya dunia bila semua bangsa dunia secara seragam menggunakan satu bahasa saja. Bukankah keberagaman merupakan sesuatu yang indah?!
Tentu untuk mengatasi persoalan ini tidak mudah. Dengan ditulisnya artikel ini tidak lantas saya mendesak nama media ini sebaiknya diterjemahkan saja. Kalaupun pihak redaksi berniat mengganti dengan nama terjemahan, entah apa jadinya saya tak bisa membayangkan. Seperti kata Dimas kepada Ruben dalam percakapan di salah satu bagian novel trilogi Supernova karangan Dee yang fenomenal itu: “AKU BENCI TERJEMAHAN!” Tapi ya sudahlah…
*Pry S., mahasiswa semester canggih Fakultas Komunikasi di salah satu Institusi Jakarta, pemerhati bahasa dan sastra.
Sumber
Penemuan saya akan ketidakteraturan berbahasa ini berlanjut demikian. Suatu hari saya ditertawakan beberapa rekan saat mengeja TV, VCD, dan DVD menjadi te-ve, ve-ce-de, dan de-ve-de. Alih-alih tersinggung, saya harus menerima itu sebagai sesuatu yang wajar jika saya ditertawakan, sebab memang ketiga kata tersebut bukan termasuk dalam kosakata bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut memang berasal dari kata bahasa asing yaitu Television (TV), Video Compact Disk (VCD), dan Digital Video Disk (DVD).
Namun di lain hal, saya mempertanyakan pelafalan kata yang sudah dianggap lazim seperti kata HP untuk Handset Telephone, dan WWF untuk World Wildlife Fund. Kedua kata tersebut tampaknya sah-sah saja saat dilafalkan ha-pe, dan we-we-ef. Bukannya saya lantas merasa tidak adil, tetapi rumusan mana yang sebaiknya kita taati bersama? Adakah peraturan dalam berbahasa Indonesia yang mampu menertibkan kedua contoh kasus di atas?
Masuknya budaya asing termasuk bahasa ke Indonesia bisa berarti ikut memperluas wawasan kita akan dunia yang sedang bergerak maju di luar sana. Istilah-istilah asing yang tidak dapat kita temui dalam kosakata bahasa Indonesia, tentu akan memperkaya kosakata bahasa Indonesia dalam mendefinisikan sesuatu hal. Tetapi ada baiknya juga kita mempertimbangkan dampak kurang baik yang muncul belakangan. Misal saja, kata 'arogan' lambat laun menggusur penggunaan kata 'sombong', kini 'anugerah' lebih umum disebut 'award', kata 'mandeg' sudah jarang digunakan karena digusur kata 'stagnan'.
Situasi ini justru berkebalikan dengan situasi berbahasa di Indonesia saat awal Sumpah Pemuda diikrarkan dan pemerintahan RI pertama dibentuk. Para pakar, kaum intelektual, ahli bahasa, munsyi, dan sastrawan saat itu giat menciptakan bentukan kata baru dan bentukan kata serapan atas suatu istilah dari kata-kata asing. Sebut saja 'hore' (hurray), 'peluit' (flute), 'mesti' (must), 'peri' (fairy), 'dokar' (dog car), 'sama' (same), 'justru' (just true), dan lain sebagainya.
Saya rasa Indonesia saat ini butuh orang-orang kreatif menciptakan bentukan kosakata baru dan punya niat melestarikan bahasa Indonesia seperti orang-orang yang saya sebutkan tadi. Bukannya apa-apa, tetapi nasib bahasa Indonesia akan lebih menyedihkan bila suatu hari bakal terpinggirkan di negerinya sendiri. Perhatikan saja dunia politik dan pers kita belakangan ini, istilah-istilah asing seperti money politics, buloggate, walk out, dan mark up yang diungkapkan para politikus kita tercinta mentah-mentah saja dimuat di halaman suratkabar tanpa diserap atau disertakan padanan katanya. Lebih lucunya lagi silahkan simak kata kursif (huruf miring) dalam ucapan Amien Rais yang saya kutip dari Koran Tempo 16 September 2000: “Kalau pengumpulan tanda tangan mencapai lebih dari separuh anggota DPR, itu indikasi yang no good buat Akbar.”
Seberapa parahkah nasib bahasa Indonesia di awal awal abad 21 ini, hingga kecenderungan pemakaian bahasa asing (khususnya Inggris) meningkat? Atau ini memang sudah menjadi pemandangan biasa dimana terjadi percampuran antara bahasa asli dengan bahasa asing, seperti halnya yang terjadi di Singapura dengan bahasa Singlish-nya?
Pernyataan berikut ini adalah kutipan pendapat (alm) Dr. Soedjatmoko dalam Kongres Bahasa Indonesia III yang digelar di Jakarta pada November 27 tahun silam: “Ada kecenderungan yang makin meningkat antara sarjana-sarjana Indonesia untuk 'meloncat' ke bahasa Inggris dalam pembicaraan-pembicaraan diantara mereka sendiri saat mendiskusikan masalah-masalah ilmiah yang sulit.”
Ia lalu berkata demikian, “Kita harus menjaga supaya kita tidak kembali kepada hierarki bahasa di zaman kolonial; dimana bahasa daerah menjadi bahasa paling rendah, yaitu sebagai bahasa pergaulan antar keluarga dan antar sahabat; bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi yang lebih luas pada tingkat kedua; dan bahasa Belanda untuk maju, untuk menguasai ilmu pengetahuan modern, dan untuk masuk ke dalam golongan elite bumiputera.”
Dari suara Soedjatmoko tersebut bisa kita lihat bahwa kebiasaan 'menginggris' (meloncat ke bahasa Inggris dalam percakapan) diantara masyarakat Indonesia sudah berlangsung sekian lama. Berbagai upaya penyembuhan telah banyak dilakukan. Diskusi bahasa dan permasalahannya pun tak pernah absen digelar setiap bulan Oktober, bulan bahasa dan sastra. Di pertengahan tahun ini juga, budayawan Remy Sylado merasa perlu menerbitkan satu lagi buku kumpulan essai bahasa berjudul 'Bahasa Menunjukkan Bangsa' yang seringkali ditulisnya dengan nada sinis, untuk kembali mengingatkan masyarakat akan penyakit bahasa tersebut.
Saya pribadi menyadari ini saat sedang asyik di rumah, menyaksikan sajian Headline News dan Metro Showbiz News yang kebanyakan justru berisikan materi berita-berita dalam negeri, sambil mendengarkan album kompilasi JKT:SKRG (Jakarta Sekarang) dari Aksara Record yang hanya punya 6 lagu berbahasa Indonesia dari 14 lagu di album tersebut. Penjajahan bahasakah yang sedang terjadi atau mereka melakukan ini sekedar gagah-gagahan biar kelihatan sedikit bergengsi, intelek, dan sebagainya?
Akhir kata, saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan rasa nasionalisme atau rasa chauvinisme apapun. Saya hanya menggambarkan sebuah situasi dimana suatu bahasa sedang menuju kepunahan jika situasi tersebut dibiarkan begitu saja berlarut.
Saya pun mengakui manfaat bahasa Inggris demi kelancaran komunikasi global antar bangsa dan negara di dunia. Tapi alangkah membosankannya dunia bila semua bangsa dunia secara seragam menggunakan satu bahasa saja. Bukankah keberagaman merupakan sesuatu yang indah?!
Tentu untuk mengatasi persoalan ini tidak mudah. Dengan ditulisnya artikel ini tidak lantas saya mendesak nama media ini sebaiknya diterjemahkan saja. Kalaupun pihak redaksi berniat mengganti dengan nama terjemahan, entah apa jadinya saya tak bisa membayangkan. Seperti kata Dimas kepada Ruben dalam percakapan di salah satu bagian novel trilogi Supernova karangan Dee yang fenomenal itu: “AKU BENCI TERJEMAHAN!” Tapi ya sudahlah…
*Pry S., mahasiswa semester canggih Fakultas Komunikasi di salah satu Institusi Jakarta, pemerhati bahasa dan sastra.
Sumber
0 comments